Pertumbuhan dan Perubahan
Struktur Ekonomi
A. Definisi
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan
sebagai proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara
berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik
selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga
sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan
dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Subandi, dalam bukunya Sistem Ekonomi Indonesia, menulis
bahwa factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara
umum, adalah:
1. factor produksi
2. factor investasi
3. factor perdagangan luar negeri dan
neraca pembayaran
4. factor kebijakan moneter dan inflasi
5. factor keuangan negara
Sedangkan Tambunan, dalam bukunya Perekonomian Indonesia,
menulis bahwa di dalam teoti-teori konvensional, pertumbuhan ekonomi sangat
ditentukan oleh ketersediaan dan kualitas dari factor-faktor produksi seperti
SDM, kapital, teknologi, bahan baku, enterpreneurship dan energi. Akan tetapi, factor penentu tersebut
untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang, bukan pertumbuhan jangka pendek.
Dengan kata lain,
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan lebih baik, sama atau lebih buruk
dari tahun 2000 lebih ditentukan oleh factor-faktor yang sifatnya lebih jangka
pendek, yang dapat dikelompokkan ke dalam factor internal dan eksternal.
Factor eksternal didominasi oleh faktor-faktor ekonomi,
seperti perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi kawasan atau dunia.
1. Faktor-faktor Internal
a. Factor ekonomi, antara lain:
§ Buruknya fundamental ekonomi nasional
§ Cadangan devisa
§ Hutang luar negeri dan ketergantungan impor
§ Sector perbankan dan riil
§ Pengeluaran konsumsi
b. Faktor non ekonomi, antara lain:
§ Kondisi politik, social dan keamanan
§ PMA dan PMDN
§ Pelarian modal ke luar negeri
§ Nilai tukar rupiah
2. Faktor-faktor Eksternal
§ Kondisi perdagangan dan perekonomian regional atau dunia
B.
Pendapatan Nasional
Pendaoata Nasional yaitu jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh masyarakat di suatu negara
dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.
Tiga Metode Perhitungan Pendapatan Nasional
1. Metode Prosuksi
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh nilai barang dan jasa yang
dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomi masyarakat dalam periode tertentu
Y = [(Q1 X P1)
+ (Q2 X P2) + … + (Qn X Pn)]
Keterangan:
Y : National Income (Pendapatan Nasional)
P :
Prices (Harga)
Q : Quantity (kuantitas)
Menurut
metode ini, PDB adalah total output (produksi) yang dihasilkan oleh suatu
perekonomian. Cara penghitungan dalam praktik adalah dengan membagi-bagi
perekonomian menjadi beberapa sektor produksi (industrial origin). Jumlah
output masing-masing sektor merupakan jumlah output seluruh perekonomian. Hanya
saja, ada kemungkinan bahwa output yang dihasilkan suatu sektor perekonomian
berasal dari output sektor lain. Atau bisa juga merupakan input bagi sektor
ekonomi yang lain lagi. Dengan kata lain, jika tidak berhati-hati akan terjadi
penghitungan ganda (double counting) atau bahkan multiple counting. Akibatnya
angka PDB bisa menggelembung beberapa kali lipat dari angka yang sebenarnya.
Untuk menghindari hal tersebut, maka dalam perhitungan PDB dengan metode
produksi, yang dijumlahkan adalah nilai tambah (value added) masing-masing
sektor.
2.
Metode Pendapatan
Pendapatan
nasional merupakan hasil penjumlahan dari seluruh penerimaan yang diterima
oleh pemilik faktor produksi dalam suatu negara selama satu periode.
Y = R + W + I + P
Ket :
Y = pendapatan nasional
R = rent = sewa
W = wage = upah/gaji
I = interest = bunga
modal
P = profit = laba
Metode
pendapatan memandang nilai output perekonomian sebagai nilai total balas jasa
atas faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Kemampuan entrepreneur
ialah kemampuan dan keberanian mengombinasikan tenaga kerja, barang modal, dan
uang untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Balas jasa
untuk tenaga kerja adalah upah atau gaji. Untuk barang modal adalah pendapatan
sewa. Untuk pemilik uang/aset finansial adalah pendapatan bunga. Sedangkan
untuk pengusaha adalah keuntungan. Total balas jasa atas seluruh faktor
produksi disebut Pendapatan Nasional (PN).
3. Metode Pengeluaran
Pendapatan
nasional merupakan penjumlahan dari seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh
seluruh rumah tangga ekonomi dalam suatu negara selama satu tahun
Y = C + I + G + (X - M)
Ket :
Y = Pendapatan Nasional
C = konsumsi masyarakat
I = investasi
G = pengeluaran pemerintah
X = ekspor
M = impor
Menurut
metode pengeluaran, nilai PDB merupakan nilai total dalam perekonomian selama
periode tertentu. Menurut metode ini ada beberapa jenis agregat dalam suatu
perekonomian:
1)
Konsumsi Rumah Tangga (Household Consumption)
Pengeluaran sektor rumah
tangga dipakai untuk konsumsi akhir, baik barang dan jasa yang habis dalam
tempo setahun atau kurang (durable goods) maupun barang yang dapat dipakai
lebih dari setahun/barang tahan lama (non-durable goods).
2)
Konsumsi Pemerintah (Government Consumption)
Yang masuk dalam perhitungan
konsumsi pemerintah adalah pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang digunakan
untuk membeli barang dan jasa akhir (government expenditure). Sedangkan
pengeluaran-pengeluaran untuk tunjangan-tunjangan sosial tidak masuk dalam
perhitungan konsumsi pemerintah.
3)
Pengeluaran Investasi (Investment
Expenditure)
Pembentukan Modal Tetap
Domestik Bruto (PMTDB) merupakan pengeluaran sektor dunia usaha. Yang termasuk
dalam PMTDB adalah perubahan stok, baik berupa barang jadi maupun barang
setengah jadi.
4)
Ekspor Neto (Net Export)
Yang dimaksud dengan ekspor
bersih adalah selisih antara nilai ekspor dengan impor. Ekspor neto yang
positif menunjukkan bahwa ekspor lebih besar daipada impor. Perhitungan ekspor
neto dilakukan bila perekonomian melakukan transaksi dengan perekonomian lain
(dunia).
C.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
1. Aliran Klasik
1)
Teori Adam Smith
Pertumbuhan ekonomi bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertam-bahan penduduk maka akan
terdapat pertambahan output.
2)
Teori David Ricardo
Pertumbuhan penduduk yang semakin besar akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi turun.
2. Aliran Neo Klasik
1)
Teori Robert Solow
Pertumbuhan ekonomi bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil atau output.
2)
Teori Joseph Scumpeter
Proses pertumbuhan ekonomi merupakan proses
inovasi ( pembaharuan dalam cara berproduksi yang lebih efisien ) yang
dilaksanakan oleh para innovator/wirausahawan.
3.
Alira
Moderen
1)
Kualitas SDM dan kemajuan teknologi
2)
Energi
3)
Kewirausahaan
4)
Bahan baku
5)
Material
Analisis Empiris Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Orde Lama -Sekarang
Melihat
kondisi pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan orde baru (sebelum
krisis ekonomi 1997)dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami suatu
proses pembangunan ekonomi yang sepektakuler, paling tidak pada tingkat makro
(agregat). Keberhasilan ini dapat diukur dengan sejumlah indicator ekonomi
makro. Yang umum digunakan adalah tingkat PN perkapita dan laju pertumbuhan PDB
pertahun. Pada tahun 1968 PN per kapita masih sangat rendah, hanya sekitar
US$60.
Namun,
sejak pelita 1 dimulai PN Indonesia perkapita mengalami peningkatan relatif
tinggi setiap tahun dan pada akhir dekade 1980-an telah mendekati US$500. Hal
ini disebabkan oleh pertumbuhan PDB rata-rata pertahun juga tinggi 7%-8% selama
1970-an dan turunke 3%-4% pertahun selama 1980-an. Selama 70-an dan 80-an,
proses yang cukup serius, yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor
eksternal, seprti merosotnya harga miyak mentah di pasar internasional
menjelang pertengahan 1980-an dan resensi ekonomi dunia pada decade yang sama.
Karena Indonesia sejak pemerintahan orde baru menganut system ekonomi terbuka,
18 goncangan-goncangan eksternal seperti itu sangat terasa sangat dampaknya
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain
faktor harga, ekspor Indonesia, baik komoditas primer maupun barang-barang
industri maju, seperti jepang, as, dan eropa barat yang merupahkan pasar
penting ekspor indonesia. Dampak negative dari resensi ekonomi dunia tahun 1982
terhadap perekonomian Indonesia terutama terasa dalam laju perumbuhan ekonomi
selama 1982- 1988 jauh lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Karena
pengalaman menujukan bahwa biasanya resensi ekonomi dunialebih mengakibatkan
permintaan dunia berkurang terhadap bahan-bahan baku ( yang sebagian besar di
ekspor oleh NSB) daripada permintaan terhadap barang-baraang konsumsi, seperti
alat-alat rumah tangga dari elektronik dan mobil (yang pada umumnya adalah
ekspor Negara-negara maju).
Pada
saat krisis ekonomimencapai klimaksnya, yakni tahun 1998, laju pertumbuhan PDB
jatuh dratis hingga 13,1%. Namun, padatahun 1999 kembali positif walaupun kecil
sekitar 0,8% dan tahun 2000ekonomi Indonesia sampai mengalami laju pertumbuhan
yang tinggi hampir mencapai 5%. Namun, tahun 2001 laju pertumbuhan ekonomi
kembali merosot hinngga 3.8% akibat gejolak politikyang sempat memanas kembali
dan pada tahun 2007 laju pertumbuhan tercatat sedikit diatas 6%.
Antara
tahun 1990 hingga setahun menjelang krisis ekonomi, ekonomi indonesia tumbuh
rata-rata pertahun diatas 8%. Kemajuan yang dicapai oleh cina dan india memang
sangat menakjubkan. Pada awal dekade 90-an, pertumbuhan ekonomi dikedua Negara
besar tersebut masing-masing tercatat hanya 3,8% dan 5,3%. Namun, pada
pertengahan dekade 90-an, pertumbuhan kedua Negara itu sudahmenyamai bahkan
melewati persentasi Indonesia. Dari sejumlah Negara ASEAN yang juga dihantam
oleh krisis 1997/98, Indonesia memang paling parah dengan pertumbuhan negative
hingga 13,1%,disusul kemudian oleh Thailand dengan -10,5%dan Malaysia-7,4%.
Namun, yang menakjubkan dari kedua Negara tersebut setahunsetelah itu ekonomi
mereka mengalami pulih lebih cepat dibandingkan ekonomi Indonesia yang hanya
0,8%.
Laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin membaik setelah 1998 tercerminkan
pada peningkatanPDB perkapita atas dasar harga berlaku tercatatsekitar 4,8 juta
rupiah. Tahun 1999 naik menjadi 5,4 juta rupiah dan berlangsung sehingga
mencapai sekitar 10,6 juta rupiah tahun 2004, perkapita Indonesia pada tahun
2006 mencapai 1420 dalar AS, di atas india, tetapi masih jauh lebih rendah
dibandingkan china.
Tahun
1998, sebagai akibat dari krisis ekonomi, semua komponen pengeluaran mengalami
penurunan, terkecuali X, yang maengakibatkan kontraksi AD sekitar 13%.
Sedangkan perkembangan X bias bertahan positif selama masa krisis terutama,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Komponen AD yang paling besar
penurunannya selama 1998 adalah pembentukan modal bruto (investasi) yang merosot
sekitar 33,01% dibandingkan kontraksi dari pengeluara konsumsi swasta (rumah
tangga) sebesar 6,40% dan pengeluaran pemerintah sekitar 15,37%.besarnya
penurunan investasi tersebut juga kelihatan jelas dari penurunan persentasenya
terhadap PDB pada tahun 2000 pertumbuhan investasi (tidak termasuk perubahan
stok) sempat mencapai hampir 18%, namun setelah itu merosot terus hingga
negative pada tahun 2002.
Pada
awalnya, salah satu factor penting yang menyebabkan merosotnya kegiatan
investasi didalam negri selama masa krisis,seperti juga dinegara-negara asia
lain yang terena krisis (korea selatan dan Thailand), adalah karena kerugian
besar yang dialami oleh perusahan swasta akibat depresiasi rupiah yang besar,
sementara utang luar negri (ULN) nya dalam mata uang dolar AS tidak dilindungi
(hedging) sebelumnya dengan kurs tertentu di pasar berjangka waktu kedepan
(forward). Factor-faktor lain yang membuat lesunya komponen investasi didalam
AS diantaranya adalah jatuhnya harga saham, pelarian moda ( atau arus modal
keluar lebih banyak daripada arus masuk), dan resiko premium yang meningkat
drastis.
Dua
factor terakhir ini didorong terutama oleh kondisi politik, social, keamanan
dan penegakan hukum yang buruk. Sedangkan dari ekspor meningkat karena memang
depresiasi rupiah terhadap dolar As waktu itu membuat sebagian produk
Indonesia, khususnya perkebunan, mengalami peningkatan daya saing harga.
D. PERUBAHAN STRUKTUR PEREKONOMIAN NASIONAL
Pembangunan ekonomi
dalam jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa
perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan
pertanian sebagai sector utama ke ekonomi modern yang didominasi sector non
primer, khususnya industri manufaktur dengan increasing return to scale (relasi positif antara pertumbuhan
output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama
pertumbuhan ekonomi (Weiss, 1988).
Meminjam istilah
Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut transformasi structural dan
dapat didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan
lainnya dalam komposisi permintan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan
impor), dan penawaran agregat (produksi dan penggunaan factor-faktor produksi
seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Chenery, 1979).
Teori perubahan structural menitikberatkan
pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara-negara
sedang berkembang, yang semula bersifat subsisten (pertanian tradisional) dan
menitikberatkan sector pertanian menuju struktur perekonomian yang lebih modern
yang didominasi sector non primer, khususnya industri dan jasa. Ada 2 teori utama yang umum digunakan
dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi yakni dari Arthur Lewis (teori
migrasi) dan Hollis Chenery (teori transformasi structural).
Teori Arthur Lewis pada
dasarnya membahas proses pembangunan ekonomi yang terjadi di pedesaan dan
perkotaan (urban). Dalam
teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya
terbagi menjadi dua, yaitu perekonomian modern di perkotaan dengan industri
sebagai sector utama. Di
pedesaan, karena pertumbuhan penduduknya tinggi, maka kelebihan suplai tenaga
kerja dan tingkat hidup masyarakatnya berada pada kondisi subsisten akibat
perekonomian yang sifatnya juga subsisten. Over
supply tenaga kerja
ini ditandai dengan nilai produk marjinalnya nol dan tingkat upah riil yang
rendah.
Di dalam kelompok Negara LDCs, banyak Negara
yang juga mengalami transisi ekonomi yang pesat dalam tiga dekade terakhir ini,
walaupun pola dann prosesnya berbeda antarnegara. Variasi ini disebabkan oleh
perbedaan antarnegara dalam sejumlah faktor-faktor internal berikut :
1. Kondisi
dan Struktur awal Ekonomi dalam Negeri (Economic Base)
Suatu
Negara yang pada wal pembangunan ekonomi atau industry-industri dasar (seperti
mesin, besi, dan baja) yang relative akan mengalami proses industrialisasi yang
lebih pesat atau cepat dibandingkan yang hanya memiliki indistri-industri
ringan (seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, makanan, dan minuman).
2.
Besarnya Pasar Dalam Negeri.
Dalam
hal ini besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antara
jumlah populasi dan tingkat pendapatan riil per kapita. Pasar dalam negeri yang
besar seperti Indonesia dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta orang
(walau tingkat pendapatan per kapita rendah), merupakan salah satu faktor
insentif pertumbuhan kegiatan ekonomi, termasuk industry, karena menjamin
adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam proses produksi (dengan asumsi bahwa
faktor-faktor penentu lainnya mendukung).
3.
Pola Distribusi Pendapatan
Faktor
ini sangat mendukung faktor pasar di atas. Walaupun tingkat pendapatan
rata-rata per kapita pesat, tetapi kalau distribusinya sangat pincang, kenaikan
pendapatan tersebut tidak terlalu berarti bagi pertumbuhan industry-industri
selain industry-industri yang membuat barang-barang sederhana, seperti makanan,
minuman, sepatu, dan pakaian jadi.
4.
Karakteristik Industrialisasi
Karakter
industrialisasi antara lain mencakup cara pelaksanaan atau strategi
pengembangan industry yang diterapkan, jenis industry yang diunggulkan, pola
pembangunan industry, dan insentif yang diberikan. Aspek-aspek ini biasanya
berbeda antar Negara yang menghasilkan pola industrialisasi yang juga berbeda
antarnegara.
5.
Keberadaan Sumber Daya Alam
(SDA)
Ada
kecenderungan bahwa Negara yang kaya SDA mengalami pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah atau terlambat diversifikasi ekonomi (perubahan struktur) daripada
Negara yang miskin SDA. Sebagai contoh Indonesia yang awalnya sangat
mengandalkan kekayaan SDAnya, terutama migas, dapat dikatakan relative
terlambat melakukan industrialisasi dibandingkan Negara-negara kecil dan miskin
SDA di Asia Tenggara dan Timur, seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan
Singapura.
6.
Kebijakan Perdagangan Luar
Negeri
Fakta
menunjukkan bahwa di Negara yang menerapkan kebijakan ekonomi tertutup atau
inward looking policy, pola dan hasil industrialisasinya berbeda dibandingkan
di Negara-negara yang menerapkan outward looking policy. Banyak LDCs, termasuk
Indonesia, pada awal pembangunan menerapkan kebijakan protektif terhadap sector
industrinya, kebijakan yang umum disebut impor substitution policy. Hasilnya,
sector industry mereka berkembang tidak efisien, sangat tergantung pada impor,
dan tingkat diversifikasinya rendah, khususnya lemah dikelompok midstream
industries (seperti industry barang modal, input perantara, dan
komponen-komponen untuk industry-industri hilir) yang pada umumnya menerapkan
system produksi assembling.
Sedangkan
Negara-negara berpendapatan tinggi di Asia Tenggara dan Timur, seperti Jepang,
Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hongkong, yang berhasil dalam
menstransformasikan struktur ekonomi mereka dengan tingkat efisiensi dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode yang relative tidak terlalu lama.